Kuningan Mau Di Branding Apa, Harusnya Punya Daya Tarik Investasi. Angklung yang Sudah Mendunia Mati Suri

Kuningan Mau Di Branding Apa, Harusnya Punya Daya Tarik Investasi. Angklung yang Sudah Mendunia Mati Suri

Senin, 27 Februari 2023
Yanuar Prihatin Aleg DPR RI Fraksi PKB


Benangmerah - Ini bukan pormal tetapi kita ngobrol sambil ngopi rileks agar lebih bisa terbuka dan alurnya tidak monoton, saya ingin ngobrol bereng sudah lama namun baru terlaksana, sekarang ini, kita ambil makna sambil tukar pikiran tentang isu nasional regional dan lokal, meski saya tau ada yang berdipat imik kosmetik. Imik itu misalnya ada istilah gagal bayar jadi viral di kuningan meskipun pemerintah waktu untuk pembayarannya tertunda karena mungkin APBD tidak mencukupi, tapi ini morning bagi pemda. Demikian awal obrolan dengan Aleg DPR RI dari Fraksi PKB Yanuar Prihatin.


Untuk memajukan suatu daerah harus punya daya magnet untuk menarik inves, apa branding nya Kuningan, industri gak mungkin, jasa dan perdagangan gak mungkin, lalu apa untuk orang berkontribusi ke daerah Kuningan, kalau kota industri atau tidak itu harus ada parameternya. Jadi jangan berpikir Kuningan jadi kota industri buat apa buang buang energi buang buang waktu buang buang anggaran sementara penopangnya tidak dimiliki. 


Kedua jadi kota jasa dan perdagangan mungkin tidak Kuningan kedepan di upgrad jadi kota jasa dan perdagangan? IKon itu sudah digunakan oleh Cirebon karena diuntungkan oleh letak goegrafisnya orang kecenderungan kepada pilihan fasilitas. Lalu Kuningan kabupaten Pendididkan, pendidikan itu investasi yang mahal jadi kalau Kuningan mau meng-Up Kabupaten Pendidikan di masa depan dari sudut persaingan saja sudah kalah. Menurut saya pertimbangkan ulang untuk Kuningan jadi Kabupaten pendidikan. Kuningan kota tujuan wisata kita lihat detailnya dulu, karena kita melihat Ikon atau branding, branding Kabupaten Industri clos, kabupaten jasa dan perdagangan clos. Kabupaten pendidikan clos. 


Sekarang Pariwisata masuk gak Branding pariwitas karena pariwisata ada tiga klaster, pertama pariwisata berbasis alam, artinya memanfaatkan alam yang ada. Gunung dengan area pegunungan, perbandingannya orang memilih ke Gunung Ciremai apa ke Gunung Bromo, atau ke Tangkuban Perahu perbandingan itu saja sudah kalah, artinya pariwisata berbasis alam yang di miliki, persaingan dari tempat saja cukup berat. 


Jadi kalau mau dijadika Ikon nanti dulu, artinya pariwisata berbasis alam itu hanya inclus suport bukan sesuatu yang menjadi branding, tapi kalau pariwisata berbasis seni kreatif, kalau seni kreatif itu kekuatannya ada pada Man (Manusia) pada ide original dan inovasi kepada terobosan, namanya seni kreatif meskipun bergantung dari itu harus ada dasar, ada lima ukuran, punya akar sejarah tidak di Kuningan, kalau tidak punya akan kehilangan asfek historisnya dan itu tidak kuat, tapi kalau punya asfek historis akan memperkuat nilai.


Yang kedua mudah di duplikasi sehingga bisa mengangkat investasi murah, pasar internasional sudah terbentuk jika syarat ini ada di Kuningan, maka itu berarti seni kreatifnya sudah memenuhi syarat. Akar sejarah ada sudah memasyarakat mudah di duplikasi, investasi murah, prosfek pasar prospektif pasar dunia sudah ada, karena menciptakan pasar sendiri berat.


"Setelah saya banyak ngobrol berdiskusi dengan beberapa orang termasuk Sekda Kuningan ternyata yang ditemukan dari lima unsur syarat ditemukanlah seni musik Angklung. Kalau kita tanya pada orang orang di Kuningan nama alat musik Angklung rata-rata pernah mendengar meskipun kita tdak pernah mendengar alat itu di bunyikan, tapi setelah saya perhatikan dari seluruh kekuatan potensinya dari seluruh seni budaya yang ada di Kuningan yang memenuhi dari lima unsur itu hanya Angklung," terang Yanua Prihatin Aleg DPR RI


Pertama, lanjut dia, dari historis, dan pak Sekda langsung nyahut nah pencipta nada Angklung tradisional ke nada modern, dari diatonis ke pentatonis ya itu pak Daeng Sutisna orang Citangtu itu jaman kompeni Belanda, dia seorang guru tapi karena hobi seni, dia ngulik akhirnya menemukan formula untuk bagaimana musik tradidisional bisa beradaptasi dengan musik eropah itu dia asal muasalnya, akhirnya pada waktu perundingan linggarjati, pak Daeng Sutisna dan grupnya di dipentaskan di situ musik-musik Belanda, lagu-lagu nasional bisa digunakan dengan angklung. Pada saat lahirnya nada angklung saja sudah mendunia karena dipentaskan dalam momen penting Perjanjian Linggarjati Indonesia Belanda.


Kalau bicara geneologi, awalnya Gen bagus Insya Allah ke depan bagus. Ini angklung dari induknya sudah bisa masuk level dunia Lalu kenapa di Indonesia tempat kelahirannya tidak berkembang, ya karena nggak banyak orang menggali kekuatannya, padahal di dunia sekarang sanggar angklung klub-klub angklung banyak pentas angklung itu lebih banyak di Eropa ketimbang di Indonesia. Meskipun ada banyak keterlibatan di kedutaan negara masing-masing, tapi klub lokalnya sendiri tetap banyak. Masa ingin melihat konser angklung kelas dunia harus ke Tokyo, ke Belgia, ke Washington meski ke Belanda. Sementara Mereka ingin menonton seni musik angklung originalnya di Indonesia di mana susah nyarinya.


Tapi kalau bentuk alat itu semua bisa divariasi dan itu sudah memasyarakat tidak akan mengurangi resistensi dan penolakan mau diangkat jadi brand ditolak publik yang ngawur. Kalau melihat kebudayaan di Bali itu sanggar tari di setiap sudut ada sanggar, bahkan ada panggung teater besar yang di fasilitas oleh Pemda setempat. Kekuatan seni tari di Bali menjadi brand kelas dunia dan bisa menghidupi banyak keluarga.


Orang luar Kuningan boleh mengklaim, tetapi yang punya inovasi menaikkan ke level dunia kan bisa beda-beda. Kenapa saya sebut level dunia, karena pasar dunianya sudah terbentuk, akar historis boleh dicek. Apakah Daeng Sutisna menemukannya di Kuningan, apa di Purwakarta. Nadanya perubahan nada tradisional ke nada modern, bukan alat atau bentuknya. Itu ditemukannya di Kuningan oleh Daeng Sutisna yang sekarang dipakai pentas angklung di Jogjakarta di Bandung dan di mana-mana. Itu nadanya ditemukan oleh Daeng Sutisna. (Mans Bom)