Semangat Toleransi dan Nilai Nilai Keberagaman

Semangat Toleransi dan Nilai Nilai Keberagaman

Selasa, 18 Desember 2018


Oleh : Wibawa Pandawa

Keberagaman dapat dipahami sebagai perbedaan dan saling berbeda. Perbedaan tidak berarti kesalahan. Keberagaman manusia dan kemanusiaan itu azali. Ianya telah di-iradah-kan sejak dari asal-mula, from the very beginning. Karena azali, maka ia menjadi natural, alami, patut, indah, permanen, berlaku sejak awal sampai akhir.

Tugas kita yang sudah berbeda ini adalah merawatnya dengan cara saling paham, saling kenal, saling menghargai (lita‘arafu - QS. 49:13). Makanya (kalau ada) usaha untuk menyamakan antarmanusia (selera, budaya, pemikiran, karya), adalah pekerjaan sia-sia dan melawan alam, melawan Sunnatullah. Kalaupun itu “terjadi” akan tidak alami, tidak nyaman, tidak indah, bahkan bisa dikatakan “palsu”.

Tuhan saja tidak menjadikan manusia satu jenis, serupa, seragam. Padahal kalau mau Dia mampu. “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (QS. 5:48).


Dari ayat tersebut sangat jelas bahwa keberagaman dan perbedaan itu sah, tidak usah diganggu gugat. Sekali lagi, tugas manusia adalah memelihara, mengindahkan, dan mengambil manfaat dari keberagaman dan perbedaan itu. Di antara cara merawat adalah ber-musabaqah dalam berbuat kebaikan.

Bagaimana merawat, menjaga, memelihara keberagaman ini, di sinilah tantangannya. Beberapa rumus agama diungkapkan, utamanya dengan berperilaku baik, memperlakukan orang yang berbeda itu dengan baik. Ayat tadi menunjukkan; dengan saling berlomba menghasilkan kebaikan, yang kebaikan itu dapat meningkatkan kualitas hidup manusia. Kebaikan itu dapat berupa membuat manusia bisa hidup lebih sehat, lebih kuat, lebih cerdas, lebih memudahkan, lebih berguna, lebih makmur, dan lebih mampu bekerja sama, untuk menghasilkan kebaikan.

Menunjukkan Kebaikan
Makanya, masing-masing kelompok manusia yang berbeda, dapat berlomba, berkompetisi menunjukkan hasil kebaikan kepada yang lain dan bahkan, seisi dunia. Kebaikan itu universal, tidak ada pilih kasih, sektarian, lokal, primordial, dan sejenisnya. Kalau seseorang, atau satu kelompok orang, menemukan kebaikan berupa obat penyembuhan penyakit menular, maka kebaikan itu berlaku umum, universal, untuk siapa saja, sesuai formula.

Demikian juga kalau ada yang menemukan ilmu hitung, ilmu tulis, kertas, listrik, dan sebagainya. Yang namanya kebaikan itu mestilah bermanfaat untuk kemaslahatan umat. Siapa kemudian yang dapat dikatakan paling baik? Khayrunnas anfa‘uhum linnas (yang terbaik adalah yang produk manfaatnya paling besar untuk kemaslahatan umat manusia).

Bagi kita orang yang mengakui beragama, tanyalah, sudahkah kita menjadi orang baik? Jawabnya: hitung saja seberapa besar, atau seberapa banyak, manfaat yang telah kita hasilkan selama hidup ini? Manfaat itu bukan sekadar untuk diri sendiri, seperti makan, minum, tidur.

Kalau sekadar manfaat untuk diri sendiri apa bedanya dengan makhluk lain bukan manusia. Tetapi manfaat apa untuk orang lain, bahkan umat manusia. Kalau belum ada, atau masih sedikit, siagalah, ajal akan segera menjemput. Bersegeralah berbuat kebaikan, sebelum terlambat

Ketika keberagaman dan perbedaan adalah keniscayaan, maka toleransi antarmanusia adalah keharusan. Toleransi itu, modalnya adalah kebaikan. Hasilkan kebaikan dan sebarkan, maka simpati dan toleransi akan mengalir kepada Anda. Ungkapan bijak merumuskan, Ahsin ilannas, tasta‘bidqulubahum (Tebarkan kebaikan kepada manusia, simpati mereka akan mengalir kepada Anda).

Namun di atas segalanya, Allah-lah yang Mahapenilai kebaikan itu, apakah tulus, palsu, sementara, tahan lama. Dalam hal ini manusia dimintakan hanya menghasilkan dan menyebarkan kebaikan, bukan untuk menghakiminya. Dengan demikian, maka toleransi atau tasamuh antarkita dan antarumat manusia akan tetap berlangsung dan kedamaian berkepanjangan akan bertahan. Yakinlah, setiap orang normal, sehat tentu saja akan berbuat yang baik, bahkan lebih baik, tidak akan sebaliknya. Hanya orang-orang jahat, bodohlah yang “mungkin” menghasilkan keburukan kepada orang lain. Waspadailah.

Dalam perkembangan peradaban manusia tidak dapat dihindari akan terjadinya sejumlah “tabrakan” pemahaman, pemikiran, sampai kepada tingkah laku yang mungkin “menghadang.” Ketika itu terjadi, maka yang perlu dilakukan adalah komunikasi, musyawarah, mujadalah dengan segala kesantunan. Wasyawirhum filamri dan wa jadilhumbillatihiya ahsan adalah ungkapan Alquran yang harus menjadi rujukan.

Kalau formula ini diikuti, maka keberagaman akan terjaga dengan baik, kehormatan masing-masing akan terpelihara. Ketika saling paham timbul, maka saling menghargai akan tumbuh. Ketika itu terjadi, maka keserasian antarumat akan terbina. Selanjutnya segala jenis ukhuwah: diniyyah, qawmiyyah, sya‘biyyah, insaniyyah akan subur tumbuhnya. Kehidupan yang lapang, sebagai anugerah Allah akan sama-sama dapat kita nikmati.